KABARKRONJO.COM - Diceritakan pada zaman Bani Israil
ada seorang wanita pelacur yang sangat cantik. Banyak manusia terfitnah
(tergoda) sebab kecantikannya. Pintu rumahnya selalu terbuka, setiap
orang yang melewati pintu rumahnya pasti ia akan melihatnya sedang duduk
di atas ranjang yang bertepatan dengan pintu. Siapa pun yang memandang
pasti akan terfitnah (tergoda).
Ketika seseorang laki-laki menghendakinya maka harus menyerahkan 100
dinar, baru ia akan mempersilahkannya. Ia pasang tarif 100 dinar,
riwayat lain mengatakan 10 dinar.
Suatu hari, seorang ‘Abid (ahli ibadah) melewati rumahnya dan ia
memandang pelacur itu sedang duduk di atas ranjang. Si ‘Abid pun
terkagum-kagum dan terfitnah (tergoda). Ia berusaha memerangi nafsunya
dan berdo’a kepada Allah untuk menghilangkan godaan yang ada di hatinya,
tapi godaan itu tidak juga hilang.
Si ‘Abid pun tidak bisa menahan nafsunya. Ia harus bersusah payah
bekerja mengumpulkan 100 dinar demi menikmati kecantikan pelacur itu. Ia
pun rela menjual pakaian, perabot rumah, dan apa saja yang ia miliki.
Akhirnya, si ‘Abid pun mendatangi rumah pelacur itu dan si pelacur
menyuruhnya menyerahkan 100 dinar kepada tetangganya yang menjadi
wakil/pelayannya. Si pelacur pun menjanjikan waktu untuk si ‘Abid untuk
datang kembali.
Si ‘Abid pun datang pada waktu yang dijanjikan. Si pelacur pun sudah berhias dan siap di atas ranjang emasnya.
Si pelacur berkata: “Masuklah.”
Si ‘Abid pun masuk ke rumah dan duduk bersama pelacur itu di atas ranjang.
Si ‘Abid berkata: “Sungguh engkau mengagumkan diriku, aku bekerja dan
menjual apa pun yang aku punya hanya untuk mengumpulkan 100 dinar.”
Si pelacur berkata: “Kemarilah (mendekatlah).”
Ketika si ‘Abid meraba-raba membaringkan bersenang-senang dengan
pelacur itu, dan mereka sudah siap bertempur tanpa busana/baju (tapi
belum tempur). Tiba-tiba, Allah memberinya rohmah dan sebab keberkahan ibadahnya yang telah ia kerjakan.
Si ‘Abid pun merasa di hatinya bahwa Allah melihat apa yang ia sedang
lakukan (keharaman yang ia lakukan) dan ia merasa bahwa semua amalnya
hancur lebur. Ketakutan menguat di hatinnya sehingga gemetar semua
sendi-sendi tulangnya, pucat pasi wajahnya.
Si pelacur melihatnya gemetar pucat pasi lalu bertanya: “Engkau kenapa?”
Si ‘Abid menjawab: “Aku takut kepada Tuhanku, maka ijinkanlah aku keluar”
Si pelacur berkata: “Bukankah engkau tadi bilang bahwa aku
mengagumkanmu? Dan sekarang ketika engkau bisa berbuat apapun yang
engkau mau, justru sekarang gemetaran mau pergi keluar. Celaka kamu!
Sungguh banyak orang menantikan hal semacam ini, lalu ini bagaimana?”
Si ‘Abid menjawab: “Sungguh saya takut kepada Allah. Tinggalkanlah
saya. Sungguh Allah telah murka kepadaku, dan engkau adalah wanita yang
paling aku benci. Harta yang sudah saya serahkan padamu itu halal
untukmu, sekarang ijinkanlah saya keluar”
Si pelacur pun berkata: “Sepertinya engkau belum pernah melakukan hal semacam ini?”
“Belum,” jawab si ‘Abid.
Si pelacur bertanya: “engkau dari mana dan siapa namamu?”
Si ‘Abid pun menjawab bahwa ia dari desa ini dan namanya ini.
Si pelacur berkata: “Jika memang yang engkau katakan benar, maka saya tidak mau punya suami selain engkau”
“Tinggalkanlah saya, biarkan saya keluar.” sahut si ‘Abid.
“Tidak, Kecuali engkau menjadikanku milikmu, engkau mau menikahiku,” jawab si pelacur.
Si ‘Abid menjawab: “Mungkin saja (semoga) aku mau menikahimu”
Lalu si pelacur mengizinkannya keluar.
Si ‘Abid pun memakai bajunya dan keluar sambil berdo’a celaka, ia menangisi dirinya sambil menabur-naburkan debu di kepalanya.
Ia pun kembali ke tempat tinggalnya. Ternyata di hati wanita pelacur
itu tertanam rasa takut sebab keberkahan dari si ‘Abid tadi, wanita itu
berkata (berfikir):
“Perbuatan dosa yang dilakukan laki-laki itu adalah dosa yang pertama
kalinya, tapi ia merasa takut yang sedemikian rupa. Sedangkan saya
berbuat dosa mulai dari tahun sekian hingga sekian tahun, padahal
Tuhannya laki-laki itu adalah Tuhanku juga. Maka sudah sepatutnya rasa
takutku harusnya lebih besar dari laki-laki itu.”
Wanita itu akhirnya bertaubat dan menutup pintu rumahnya. Ia memakai
pakaian lumuh dan fokus beribadah, ibadahnya pun Ma Sya Allah.
Lalu wanita itu berkata dalam hatinya:
“Sebaiknya saya datangi laki-laki itu, siapa tahu ia mau menikahiku,
maka aku akan bersamanya dan aku pun bisa belajar agama darinya, dan ia
pun akan menjadi penolongku untuk beribadah kepada Allah.”
(Wanita pelacur pun masih berharap punya suami yang bisa menuntun agamanya)
Ia pun bersiap-siap berangkat dengan membawa harta dan pelayan menuju
tempatnya si ‘Abid. Sesampainya di desa yang ia tuju, ia pun bertanya
tentang si ‘Abid. Ia pun ditunjukkan tempat tinggalnya si ‘Abid.
Si ‘Abid pun diberi tahu bahwa ada wanita yang mencarinya. Si ‘Abid
keluar menemui wanita itu, wanita pun membuka wajahnya ketika melihat si
‘Abid supaya si ‘Abid mengenalinya. Ketika si ‘Abid melihat wajahnya,
ia pun mengenalinya sekaligus ia juga ingat apa yang pernah mereka
lakukan.
Spontan ia berteriak dan terjatuh, ruhnya keluar (wafat) di hadapan wanita tersebut.
Tinggallah si wanita dalam kesedihan, ia berkata:
“Sungguh aku keluar demi dirinya, tapi sekarang ia telah tiada.
Apakah dari kerabatnya ada yang menginginkan wanita untuk dinikahi?”
Penduduk desa berkata: “Ia mempunyai saudara laki-laki sholih, tapi ia miskin tidak punya harta.”
Wanita itu berkata: “Tidak apa-apa, saya punya harta untuk kecukupan,
saya mau dinikahinya demi kecinta’an dan kemuliaan saudaranya.”
Saudaranya si ‘Abid pun datang dan menikahi wanita itu. Dari
pernikahan mereka dikarunia 7 anak laki-laki. Ke-7 anaknya semuanya
menjadi orang-orang sholih sebab keberkahan taubatnya.
Keterangan: Hikayah ini di ambil dan dikumpulkan dari beberapa kitab:
1). Tanbihul ghofilin 42-43.
2). Durrotun Nashihin 204-205.
3). Irsyadul ‘Ibad 106.
4). Manahijul Imdad syarah Irsyadul ‘Ibad 2/474-475.
5). Roudhur Royyahin 161.
***Ending/pengakhiran dari hikayah ini di ambil dari kitab Roudhur
Royyahin, sebab para Nabi tidak lahir kecuali dari wanita yang suci dari
zina.
Penulis: Gofur./bangkitmedia.com